SEJARAH
SANGIRAN
Gambar. Pintu Gapura Museum Purbakala Sangiran
Penelitian tentang manusia purba dan
binatang purba diawali oleh G.H.R.Von Koenigswald, seorang ahli
paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung
pada tahun 1930-an. Beliau adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat
Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil
yang ditemukan. Hasil penelitian kemudian dikumpulkan di rumah Kepala Desa
Krikilan, Bapak Totomarsono sampai tahun 1975.
Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang
berkunjung ke tempat tersebut, maka munculah ide untuk membangun sebuah museum.
Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak
di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun
pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan
sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang
nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum
seluas 750 m2.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri
dari ruang pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual
(tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang
penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft
'Batu Indah Bertuah' yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro).
Di Museum Sangiran terus dilakukan
pembenahan dan penambahan bangunan maupun fasilitas pendukung untuk mempertegas
keberadaannya sebagai warisan dunia yang memiliki peran penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk menciptakan kenyamanan bagi para
wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Museum Sangiran sekarang telah
berevolusi menjadi sebuah museum yang megah dengan arsitektur modern.
Gambar. Letak Sangiran
Situs Sangiran terletak di sebelah Utara
Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen).
Gapura Situs Sangiran berada di jalur Jalan Raya Solo-Purwodadi dekat
perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar). Jarak dari
gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km. Secara
astronomi terletak pada 7o 25'-7o 30' LS dan pada 4o-7o
05' BT (Moelyadi dan Widiasmoro, 1978).
Secara Geo-Stratigrafis, Situs Sangiran yang
posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan
suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan
terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini
kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar
(anak-anak
cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan
selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan
lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai
jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak
1995).
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59,2
km² (SK Mendikbud 070/1997) secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan,
yaitu: Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan
Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah
(Widianto & Simanjuntak, 1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan
oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh
Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota
Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan
Budaya Dunia "World Heritage List" Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
"Dome Sangiran" atau Kawasan
Sangiran yang memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari Utara-Selatan sepanjang 9 km. Barat-Timur sepanjang 7 km. Masuk dalam
empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2. Temuan Fosil di "Dome
Sangiran" di kumpulkan dan disimpan di Museum Sangiran. Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid
Purba (diduga sebagai asal evolusi Manusia) ada 50 (Limapuluh)
Jenis/Individu. Untuk Fosil-fosil yang diketemukan di Kawasan Sangiran
merupakan 50% dari temuan fosil di Dunia dan merupakan 65% dari temuan di
Indonesia. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke-20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida,
Mexico tanggal 5 Desember 1996, Sangiran Ditetapkan sebagai salahsatu Warisan
Budaya Dunia "World Haritage List" Nomor : 593.
Sejarah Singkat Berdirinya Situs Sangiran
1893
Untuk pertama kali
Sangiran didatangi peneliti Eugene Dubois. Tetapi penelitian singkat itu tidak
menghasilkan temuan yang dicari sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat
melanjutkannya.
1932
Untuk pertama kali
wialyah Sangiran dipetakan oleh LJC van
Es ke dalam peta geologi berskala 1:20.000
1934
Dengan
berpedoman pada peta tersebut, GHR von Koenigswald untuk pertama kali melakukan
survei eksploratif dan berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba.
1936
Seorang
penduduk
menyerahkan sebuah fosil temuannya kepada GHR von Koenigswald yang ternyata
adalah rahang kanan manusia purba. Temuan ini tercatat sebagai temuan pertama
fosil manusia purba dari Sangiran yan kemudian diberinya kode S1 (Sangiran 1).
1937-1941
Dengan bantuan
penduduk setempat pada tahun 1937, 1938, 1939 dan 1941 von Koenigswald
brhasil menemukan fosil manusia purba Homo Erectus.
1960
Penelitian dari
Indonesia ke Sangiran
1969
Ditemukan fosil Homo
erectus terlengkap di Indonesia sekaligus merupakan satu-satunya fosil
terlengkap di Asia yang ditemukan beserta dengan wajahnya.
1975
Temuan-temuan di
Sangiran terkumpul di kediaman Toto Sumarsono yang sekarang dipindahkan menjadi
Balai Desa Krikilan
1977
Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 070/0/1977 tanggal 15 Maret
1977, daerah Sangiran ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya yang dilindungi
oleh undang-undang.
1977
Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jogjakarta mulai melakukan penelitian
secara intensif hingga sekarang yang diantaranya berhasil menghimpun
fosil-fosil manusia dari Formasi Pucangan dan Grenzbank. Selain itu, juga
menemukan gigi geraham hominid dan fosil binatang yang terletak pada Formasi
Kabuh yang berkonteks dengan beberapa alat batu masif dan serpih.
1982
Unit kerja dibawah
Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala mengamankan situs Sangiran.
1988
Dalam rangka
kepentingan kepariwisataan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama
dengan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi mendirikan Museum
Prasejarah Sangiran. Museum ini terletak di Desa Krikilan, di samping sebagai
obyek wisata juga sebagai ajang pendidikan dan penelitian.
1990
Penelitian di Sangiran semakin
intensif untuk mengetahui evolusi fisik manusia, budaya dan lingkungan oleh
beberapa instansi.
8 Oktober 1993
Transaksi fosil tengkorak manusia
purba (Pithtchantrophus erectus) terjadi antara penduduk Sangiran dan Dr. Donald Tyler seharga
Rp 3.800.000. Sindikat fosil itu dapat terbongkar, tetapi tidak ada proses
tindak lanjut secara hukum dari pelakunya.
20-23 Mei 1994
Pemerintah mulai melakukan
pengembangan Situs Sangiran dengan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan yang
dalam kesempatan ini bertema "Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs
Sangiran".
4-6 April 1995
Evaluasi Hasil Studi Perlindungan
dan Pengembangan Situs Sangiran.
8-10 Juni 1995
Penyusunan Naskah Nominasi Situs
Sangiran untuk diusulkan ke dalam Daftar Warisan Dunia.
11-13 September 1995
Studi Rencana Induk/Master Plan
Pengembangan Situs Sangiran dilakukan.
1995
Menyadari pentingnya nilai Situs
Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya maslah pemahaman
evolusi manusia dan lingkungan alam, pemerintah mengusulkan situs ini ke UNESCO
untuk dapat dimasukkan ke dalam World Heritage List atau daftar warisan dunia.
17 Januari 1996
Rapat Evaluasi Studai Master Plan
(Rencana Induk) Situs Sangiran.
5 Desember 1996
Situs Sangiran ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) oleh UNESCO sebagai kawasan
"The Early Man Site" dengan No Penetapan (World Heritage List) C 593.
Januari 1997
Mawardi, penduduk setempat
menemukan fosil atau tengkorak Homo erectus.
23 April 2002
Rapat rencana kerja pmda Sragen
untuk pengembangan Sangiran tahun 2002 dengan materi rapat: rencana pembentukan
Badan Otorita Daerah, pengembangan infra struktural kawasan Sangiran untuk
pariwisata, pembangunan menara pandang di Desa Pagerejo.
Mei 2002
Badan Perencana Pembangunan
Daerah Kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta mengadakan studi
kelayakan terhadap tempat pembuangan sampah akhir di Desa Dayu dan Desa Jeruk
Sawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Hasil Penelitian
menyatakan kedua empat tersebut layak untuk dijadikan tempat pembuangan sampah
akhir.
17 Juni 2002
Rapat Koordinasi Pemberdayaan
Msyarakat Sangiran bersama Lembaga Pengabdian Msyarakat UNS, Surakarta.
25 Juni 2002
Rapat Koordinasi Pengembangan
Sangiran oleh Direktirat Purbakala dan permuseuman di Jakarta.
26 Juni 2002
Rapat Koordianasi Pembentukan Badan
Otorita Sangiran yang selanjutnya diberi nama Unit Koordinasi Pengembangan
Kawasan Sangiran.
3 Juli 2002
Pertemuan antara Pemerintah
Kabupaten Karanganyar dan penduduk Kecamatan Gondangrejo, mengenai arti penting
Situs Sangiran di Kecamatan Gandangrejo, Kabupaten Karanganyar, dnegna
kesimpulan masyarakat Gondangrejo tidak mendukung keberadaan Situs Cagar Budaya
Sangiran dan menghendaki wilayahnya dikeluarkan dari wilayah Cagar Budaya
Sangiran.
15 Juli 2002
Pemda Karanganyar mengeluarkan
surat No. 430/4071.12 tentang permohonan pencabutan Kecamatan Gondangrejo
dikeluarkan dari kawasan Cagar Budaya.
31 Agustus 2002
Pemkab Karanganyar mengeluarkan
surat tentang permohonan pencabutan kawasan Cagar Budaya, pada wilayah yang
akan digunakan untuk TPA (tempat pembuangan akhir sampah) seluas 13 Ha di Desa Dayu,
Kecamatan Gondangrejo.
Desember 2002
Dinas Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah mulai membenahi Museum Sangiran dengan mengisi vitrin-vitrin dan partisi
di ruang pertemuan yang akhirnya berubah menjadi ruang pamer.
Februari 2003
Pemerintah maupun lembaga profesi
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Karanganyar untuk
membangun TPA di Desa Dayu. Alasannya lokasi tersebut merupakan zona inti dari
keseluruhan Situs Sangiran dan tidak jauh dari tempat tersebut terbukti potensi
terhadap temuan fosil-fosil manusia purba. Pemerintah menyrankan agar calon
lokasi tempat pembuangan sampah dipindahkan di Desa Gares, Kecamatan
Gondagrejo.
2003
Lembaga profesi
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Sragen membangun menara
pandang dan infrastruktur lainnya di Desa Pagerejo karena daerah tersebut
merupakan zonda inti dari Situs Sangiran dan di lokasi tersebut pada 1952
ditemukan fosil manusia purba Megantrophus paleojavanicus yang menggemparkan
dunia ilmu pengetahuan. Tapi pihak Pemkab Sragen tetap bersikeras membangun
menara pandang dan infrastruktur lainnya untuk kepentingan kepariwisataan.
2004
Penyusunan master
plan Sangiran yang melibatkan stakeholder terkait.
Juni 2005
Tim penelitian ekskavasi di Desa
Dayu menemukan atap tengkorak belakang.
2007
Pemerintah membentuk
lembaga Unit Pelaksana Teknis setingkat eselon III/a yang mengelola khusus
masalah Sangiran dengan nomenklatur Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Surat ketetapan
PM.17/HK.001/MKP 2007 Pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis yang bertugas
mengelola Situs Purba Sangiran dan situs-situs sejenis lainnya dengan nama
Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
2008
Peraturan Menteri No. PM34/HM.001/MKP/2008
Situs Sangiran masuk obyek vital nasional di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
2009
Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran mulai melaksanakan tugas penelitian, pelestarian dan
pemanfaaatan.
2010
Implementasi situs Sangiran.
2011
Renovasi Sangiran agar lebih menarik bekerjasama dengan
Unesco. Dan peresmian Situs Sangiran oleh Unesco dengan nama baru yaitu Museum
Situs Manusia Purba Sangiran.
2012
Didesa
Pucung akan dibangun Sarana Kehidupan Manusia Purba seluas 1 Ha sebagai
pendukung dari museum induk.