Minggu, 12 Februari 2012

Situs Manusia Purba Sangiran

SEJARAH SANGIRAN
 Gambar. Pintu Gapura Museum Purbakala Sangiran
Penelitian tentang manusia purba dan binatang purba diawali oleh G.H.R.Von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an. Beliau adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Hasil penelitian kemudian dikumpulkan di rumah Kepala Desa Krikilan, Bapak Totomarsono sampai tahun 1975.
Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke tempat tersebut, maka munculah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft 'Batu Indah Bertuah' yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro).
Di Museum Sangiran terus dilakukan pembenahan dan penambahan bangunan maupun fasilitas pendukung untuk mempertegas keberadaannya sebagai warisan dunia yang memiliki peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk menciptakan kenyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Museum Sangiran sekarang telah berevolusi menjadi sebuah museum yang megah dengan arsitektur modern.
Gambar. Letak Sangiran
Situs Sangiran terletak di sebelah Utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen).  Gapura Situs Sangiran berada di jalur Jalan Raya Solo-Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar). Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km. Secara astronomi terletak pada 7o 25'-7o 30' LS dan pada 4o-7o 05' BT (Moelyadi dan Widiasmoro, 1978).
Secara Geo-Stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak 1995).
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59,2 km² (SK Mendikbud 070/1997) secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia "World Heritage List" Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
"Dome Sangiran" atau Kawasan Sangiran yang memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari Utara-Selatan sepanjang 9 km. Barat-Timur sepanjang 7 km. Masuk dalam empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2. Temuan Fosil di "Dome Sangiran" di kumpulkan dan disimpan di Museum Sangiran.  Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba (diduga sebagai asal evolusi Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Untuk Fosil-fosil yang diketemukan di Kawasan Sangiran merupakan 50% dari temuan fosil di Dunia dan merupakan 65% dari temuan di Indonesia. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke-20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, Sangiran Ditetapkan sebagai salahsatu Warisan Budaya Dunia "World Haritage List" Nomor : 593.
 
Sejarah Singkat Berdirinya Situs Sangiran
1893
     Untuk pertama kali Sangiran didatangi peneliti Eugene Dubois. Tetapi penelitian singkat itu tidak menghasilkan temuan yang dicari sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat melanjutkannya.
1932
     Untuk pertama kali wialyah Sangiran dipetakan oleh LJC van Es ke dalam peta geologi berskala 1:20.000
1934
     Dengan berpedoman pada peta tersebut, GHR von Koenigswald untuk pertama kali melakukan survei eksploratif dan berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba.
1936
     Seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil temuannya kepada GHR von Koenigswald yang ternyata adalah rahang kanan manusia purba. Temuan ini tercatat sebagai temuan pertama fosil manusia purba dari Sangiran yan kemudian diberinya kode S1 (Sangiran 1).
1937-1941
     Dengan bantuan penduduk setempat pada tahun 1937, 1938, 1939 dan 1941 von Koenigswald brhasil menemukan fosil manusia purba Homo Erectus.
1960
     Penelitian dari Indonesia ke Sangiran
1969
     Ditemukan fosil Homo erectus terlengkap di Indonesia sekaligus merupakan satu-satunya fosil terlengkap di Asia yang ditemukan beserta dengan wajahnya.
1975
     Temuan-temuan di Sangiran terkumpul di kediaman Toto Sumarsono yang sekarang dipindahkan menjadi Balai Desa Krikilan
1977
     Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 070/0/1977 tanggal 15 Maret 1977, daerah Sangiran ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya yang dilindungi oleh undang-undang.
1977
     Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jogjakarta mulai melakukan penelitian secara intensif hingga sekarang yang diantaranya berhasil menghimpun fosil-fosil manusia dari Formasi Pucangan dan Grenzbank. Selain itu, juga menemukan gigi geraham hominid dan fosil binatang yang terletak pada Formasi Kabuh yang berkonteks dengan beberapa alat batu masif dan serpih.
1982
     Unit kerja dibawah Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala mengamankan situs Sangiran.
1988
     Dalam rangka kepentingan kepariwisataan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi mendirikan Museum Prasejarah Sangiran. Museum ini terletak di Desa Krikilan, di samping sebagai obyek wisata juga sebagai ajang pendidikan dan penelitian.
1990
     Penelitian di Sangiran semakin intensif untuk mengetahui evolusi fisik manusia, budaya dan lingkungan oleh beberapa instansi.
8 Oktober 1993
     Transaksi fosil tengkorak manusia purba (Pithtchantrophus erectus) terjadi antara penduduk Sangiran dan Dr. Donald Tyler seharga Rp 3.800.000. Sindikat fosil itu dapat terbongkar, tetapi tidak ada proses tindak lanjut secara hukum dari pelakunya.
20-23 Mei 1994
     Pemerintah mulai melakukan pengembangan Situs Sangiran dengan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan yang dalam kesempatan ini bertema "Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran".
4-6 April 1995
     Evaluasi Hasil Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran.
8-10 Juni 1995
     Penyusunan Naskah Nominasi Situs Sangiran untuk diusulkan ke dalam Daftar Warisan Dunia.
11-13 September 1995
     Studi Rencana Induk/Master Plan Pengembangan Situs Sangiran dilakukan.
1995
     Menyadari pentingnya nilai Situs Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya maslah pemahaman evolusi manusia dan lingkungan alam, pemerintah mengusulkan situs ini ke UNESCO untuk dapat dimasukkan ke dalam World Heritage List atau daftar warisan dunia.
17 Januari 1996
     Rapat Evaluasi Studai Master Plan (Rencana Induk) Situs Sangiran.
5 Desember 1996
     Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) oleh UNESCO sebagai kawasan "The Early Man Site" dengan No Penetapan (World Heritage List) C 593.
Januari 1997
     Mawardi, penduduk setempat menemukan fosil atau tengkorak Homo erectus.
23 April 2002
     Rapat rencana kerja pmda Sragen untuk pengembangan Sangiran tahun 2002 dengan materi rapat: rencana pembentukan Badan Otorita Daerah, pengembangan infra struktural kawasan Sangiran untuk pariwisata, pembangunan menara pandang di Desa Pagerejo.
Mei 2002
     Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta mengadakan studi kelayakan terhadap tempat pembuangan sampah akhir di Desa Dayu dan Desa Jeruk Sawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Hasil Penelitian menyatakan kedua empat tersebut layak untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir.
17 Juni 2002
     Rapat Koordinasi Pemberdayaan Msyarakat Sangiran bersama Lembaga Pengabdian Msyarakat UNS, Surakarta.
25 Juni 2002
     Rapat Koordinasi Pengembangan Sangiran oleh Direktirat Purbakala dan permuseuman di Jakarta.
26 Juni 2002
     Rapat Koordianasi Pembentukan Badan Otorita Sangiran yang selanjutnya diberi nama Unit Koordinasi Pengembangan Kawasan Sangiran.
3 Juli 2002
     Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan penduduk Kecamatan Gondangrejo, mengenai arti penting Situs Sangiran di Kecamatan Gandangrejo, Kabupaten Karanganyar, dnegna kesimpulan masyarakat Gondangrejo tidak mendukung keberadaan Situs Cagar Budaya Sangiran dan menghendaki wilayahnya dikeluarkan dari wilayah Cagar Budaya Sangiran.
15 Juli 2002
     Pemda Karanganyar mengeluarkan surat No. 430/4071.12 tentang permohonan pencabutan Kecamatan Gondangrejo dikeluarkan dari kawasan Cagar Budaya.
31 Agustus 2002
     Pemkab Karanganyar mengeluarkan surat tentang permohonan pencabutan kawasan Cagar Budaya, pada wilayah yang akan digunakan untuk TPA (tempat pembuangan akhir sampah) seluas 13 Ha di Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo.
Desember 2002
     Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah mulai membenahi Museum Sangiran dengan mengisi vitrin-vitrin dan partisi di ruang pertemuan yang akhirnya berubah menjadi ruang pamer.
Februari 2003
     Pemerintah maupun lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Karanganyar untuk membangun TPA di Desa Dayu. Alasannya lokasi tersebut merupakan zona inti dari keseluruhan Situs Sangiran dan tidak jauh dari tempat tersebut terbukti potensi terhadap temuan fosil-fosil manusia purba. Pemerintah menyrankan agar calon lokasi tempat pembuangan sampah dipindahkan di Desa Gares, Kecamatan Gondagrejo.
2003
     Lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Sragen membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya di Desa Pagerejo karena daerah tersebut merupakan zonda inti dari Situs Sangiran dan di lokasi tersebut pada 1952 ditemukan fosil manusia purba Megantrophus paleojavanicus yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Tapi pihak Pemkab Sragen tetap bersikeras membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya untuk kepentingan kepariwisataan.
2004
     Penyusunan master plan Sangiran yang melibatkan stakeholder terkait.
Juni 2005
     Tim penelitian ekskavasi di Desa Dayu menemukan atap tengkorak belakang.
2007
     Pemerintah membentuk lembaga Unit Pelaksana Teknis setingkat eselon III/a yang mengelola khusus masalah Sangiran dengan nomenklatur Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Surat ketetapan PM.17/HK.001/MKP 2007 Pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis yang bertugas mengelola Situs Purba Sangiran dan situs-situs sejenis lainnya dengan nama Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
2008
     Peraturan Menteri No. PM34/HM.001/MKP/2008 Situs Sangiran masuk obyek vital nasional di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
2009
     Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran mulai melaksanakan tugas penelitian, pelestarian dan pemanfaaatan.
2010
     Implementasi situs Sangiran.
2011
     Renovasi Sangiran agar lebih menarik bekerjasama dengan Unesco. Dan peresmian Situs Sangiran oleh Unesco dengan nama baru yaitu Museum Situs Manusia Purba Sangiran.
2012
            Didesa Pucung akan dibangun Sarana Kehidupan Manusia Purba seluas 1 Ha sebagai pendukung dari museum induk.